Selasa, 23 Agustus 2011
MAKANAN, MINUMAN, HEWAN YANG DIHARAMKAN AGAMA ISLAM
Islam memerintahkan kepada
pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan
haram. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah
saw bersabda: ” Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali hal-hal
yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang
mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah
berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” Dan firmanNya yang lain: “Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu” Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah
menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia
menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi !
Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai
dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan
dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima
do’anya”. (HR Muslim no. 1015). Allah SWT menetapkan beberapa makanan
dan minuman yang haram dimakan dalam Al-qur'an, yaitu, pada surah
Al-Baqarah ayat 173, Al-Ma'idah ayat 3 dan ayat 90 (khusus pengharaman
khamer) dan Al-An'am ayat 145. Selain itu, rasulullah saw juga
menetapkan beberapa jenis makanan lain yang tidak terdapat dalam
Al-Qur'an sebagai makanan haram. Dari ayat-ayat dan hadits-hadits
itulah para ulama menetapkan beberapa jenis makanan yang haram dimakan,
setelah menyimpulkan nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits dan qiyas
(analogi hukum) dari beberapa nash yang ada. Jenis-jenis makan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. BANGKAI
Yang
dinamakan bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih atau diburu
secara syar'i. Cara yang syar'i dalam menyembelih binatang adalah
dengan memutuskan kedua kerongkongan dan tenggorokannya sambil
menyebut nama Allah. Sedangkan cara berburu yang syar'i adalah dengan
menyebut nama Allah ketika melepas anjing pemburu atau ketika menembak
hewan buruan. bangkai Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih
atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi
agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat
darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai
ada beberapa macam sbb :
- Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
- Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
- Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
- An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir). Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits: “Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11) Terkecuali bila hewan-hewan tersebut masih sempat disembelih, maka dihalalkan untuk memakannya. Termasuk pula bangkai adalah hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syar'i, misalnya disetrum. Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538). Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi).
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana
dijelaskan dalam ayat lainnya: “Atau darah yang mengalir” (QS.
Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin
Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang
diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam
yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong
unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan
dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah
pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24). Sekalipun darah
adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan
hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang
menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu
hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat
yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang
mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada
satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari
Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan). Dalam
Al-Qur'an surah Al-An'am ayat 145 disebutkan kata "daman masfuuhan"
yang artinya darah yang memancar atau mengalir. Dengan kata lain,
jenis darah yang tidak mengalir, maka tidak diharamkan seperti hati,
limpa dan darah ikan. Demikian halnya dengan darah yang mungkin masih
ada di periuk ketika memasak daging, karena itu adalah darah sisa dan
tidak lagi bisa mengalir, maka tidak haram.
3. DAGING BABI
Dalam
Al-Qur'an disebutkan kata "Iahm khinzir" atau daging babi. Dalam gaya
bahasa arab, yang seperti ini dinamakan "Dzikrul ba'dh wa uriida bihi
al-kull" (penyebutan sebagian tapi maksudnya adalah keseluruhan).
Artinya, bukan hanya daging, tapi juga semua anggota badan babi haram
dimakan. Termasuk pula produk olahan dari daging babi ini, seperti
minyak babi, gelatin, tepung tulang, lemak babi dan kulitnya. Ini sudah
disepakati oleh para ulama dan ahli tafsir. Babi baik peliharaan
maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh
babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan
dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH
Yakni
setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram,
karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan
nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan
hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala
dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram
dengan kesepakatan ulama. Yaitu hewan yang disembelih tidak dengan
menyebut nama Allah. Termasuk pula di dalamnya sembelihan yang
dipersembahkan pada berhala, sesaji, dan segala bentuk takhayyul serta
khurafat yang umumnya serapan dari Kepercayaan di luar Islam. Daging
hewan yang disembelih untuk itu haram dimakan, meski menyembelihnya
sudah sesuai dengan syariat Islam.
5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS
Yakni
hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan
sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram
sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu
hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu
biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing,
unta,sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Adapun hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup
(bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih
bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah
halal karena telah disembelih secara halal.
6. BINATANG BUAS BERTARING
Hal
ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda:
“Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim
no. 1933) Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana
ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya
“dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk
melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul,
harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat
Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi). Hadits ini secara
jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan
hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah
pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr,
I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476
oleh Al-Albani. Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam
At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di
kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak
boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui
seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula
anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama
saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan
pendapat orang….”. Dalam hadist dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW
bersabda, "Setiap yang bertaring dari binatang buas maka memakannya
adalah haram." (HR Muslim, no. 1933). Dalam hadist ini ada dua
ketentuan binatang itu haram dimakan, yaitu bertaring dan buas. Para
ulama berbeda pendapat tentang definisi buas, tapi yang lebih kuat
(insya Allah) adalah, segala binatang yang menyerang mangsa menggunakan
taringnya. (Lihat: Syekh Shalim Al-Fauzan dalam Kitab Al-Ath'imah,
hal. 56-57). Termasuk kategori ini adalah kucing, harimau, singa dan
sejenisnya, anjing, beruang dan sejenisnya. Juga hewan melata seperti
ular, buaya, biawak dan sejenisnya. Sedangkan binatang yang hanya
bertaring tapi tidak buas maka tidak bisa dikatakan haram berdasarkan
ketentuan ini, misalnya tupai, kelinci dan sejenisnya kecuali tikus
yang diharamkan lantaran menjijikkan. Sedangkan yang mungking menyerang
manusia tapi tidak memiliki taring, maka tidak diharamkan. Contonya
banteng, gajah dan lain sebagainya. Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah
SAW melarang makan setiap hewan buas bertaring dan burung yang
mempunyai cakar tajam mencengkram. (HR. Muslim, no. 1934). Yang
termasuk kategori ini adalah burung elang, garuda dan sejenisnya.
MUSANG Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk
binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa
musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i
berdasarkan hadits : “Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah
bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ?
Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau
menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari
Rasulullah ? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851),
Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam
At-Talkhis Habir (1/1507). Lantas apakah hadits Jabir ini
bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim
menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi
antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori
binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf
(kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah
Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)
7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM
Hal
ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah
melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR
Muslim no. 1934) Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah
(11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti
burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh
Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab
Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya
memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”
Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW melarang makan setiap hewan buas
bertaring dan burung yang mempunyai cakar tajam mencengkram. (HR.
Muslim, no. 1934). Yang termasuk kategori ini adalah burung elang,
garuda dan sejenisnya.
8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)
Hal
ini berdasarkan hadits: “Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang
pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan
daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat
lain disebutkan begini : “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda,
bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar
dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i
(7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni
(4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811). Dalam
hadits di atas terdapat dua masalah : Pertama : Haramnya keledai
jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat,
tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan
jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan
kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali,
Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf
berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban
meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari
Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa
memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat
Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam
As-Shan’ani).
9. AL-JALLALAH BINATANG TERNAK PEMAKAN KOTORAN (JALLALAH)
Yaitu
hewan ternak yang memakan kotoran berupa tinja manusia atau tahi
hewan lain sehingga dagingnya terkontaminasi dengan kotoran tersebut.
Hewan ternak seperti ini dilarang untuk dimakan sebagaimana hadist
dari Ibnu Umar ra yang berkata, Rassulullah SAW melarang makan
jallalah dan (melarang minum) susunya. (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud dan
Ibnu Majah). Hewan tersebut akan kembali halal bila dikarantina dan
diberi makan yang baik, sehingga kotoran yang dia makan dikeluarkan
melalui metabolismenya. Waktu lamanya karantina tergantung pada
kondisi dan pengalaman yang biasa berlaku, misal tiga hari atau
seminggu. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf (5/147/24598)
meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau menurung ayam yang makan
kotoran selama tiga hari. Kecuali binatang tersebut memakan kotoran dari
binatang yang halal seperti kotoran ayam, kambing dan sejenisnya.
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah
melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558
dengan sanad shahih). “Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah
melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785,
Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189). “Dari Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak
dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan
dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). Maksud Al-Jalalah
yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang
makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan
dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam
Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau
mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih
sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian
menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu
diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat
kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak
haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…” Hukum jalalah haram
dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’
serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini,
Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu
Hajar). Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa
daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang
membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan
hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya
memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut
hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang
benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar
(7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA
Berdasarkan
hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang
dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796),
Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan
dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta
disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390). Benar terdapat
beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya
yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda
Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah
bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya
dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim
no. 1943)
11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH “
Dari
Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya
dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing
hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz
“kalajengking: gantinya “ular” ) Imam ibnu Hazm mengatakan dalam
Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh
Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena
Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh
binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu
Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh ular, tikus, anjing galak
(gila), burung elang, dan burung gagak (HR. Al-Bukhari, no. 1829 dan
Muslim, no. 1198 dari Aisyah). Juga ada riwayat beliau memerintahkan
membunuh tokek (HR. Al-Bukhari, no. 3359, Muslim, no. 2237 dari Ummu
Syarik). Ibnu Hazm salah seorang ulama lintas madzhab yang cenderung
bersikap tektualistis mengatakan dalam kitab Al*Muhalla (6/73-74),
"Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh,
maka tidak berlaku baginya. Sebab, Rasulullah melarang menyia-nyiakan
harta dan tidak halal membunuh binatang yang boleh dimakan." “Dari
Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh
tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil
Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati
keharaman memakannya”.
12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH “
Dari
Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut,
tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu
Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan
Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para
sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti
tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan
dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu
sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya
disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar
8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman
bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada
Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah
melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i
(4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu
Hajar dan Al-Albani). Haramnya katak secara mutlak merupakan
pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang
shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar
As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut
hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni
(13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud
(14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
Hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh berarti haram pula dimakan.
Demikian menurut mayoritas ulama dan inilah pendapat yang lebih tepat.
Sebab, andai dia boleh dimakan, tentu boleh dibunuh. Dalam hadits
shahih, hewan yang dilarang dibunuh adalah, semut, burung Hudhud
(pelatuk), dan burung Surad. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas). Selain Itu, Rasulullah SAW juga melarang membunuh katak
ketika seorang tabib minta izin kepada beliau untuk menjadikannya
obat. (HR. Abu Daud, An-Nasa'i dan Al-Hakim).
13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM
Sejauh
ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur’an dan hadits yang shahih yang
menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan
darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya
“asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam : KEPITING –
hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad.(Lihat
Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu
Hazm). KURA-KURA dan PENYU – juga HALAL sebagaimana madzab Abu
Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’
Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla
(6/84). ANJING LAUT – juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik,
Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (lihat Al-Mughni 13/346).
KATAK/KODOK – hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih
karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di
atas.
14. BINATANG MENJIJIKKAN DAN KOTOR
Allah
Ta'ala berfirman, ".....(Rasul itu) menghalalkan yang baik-baik dan
mengharamkan yang kotor-kotor....." (Qs. Al‑A'raf : 157). Dari ayat ini
diambil kesimpulan bahwa segala makanan dan minuman yang menjijikkan
dan dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum haram dikonsumsi.
Ukuran menjijikkan adalah perasaan umum dan bukan perasaan orang per
orang. Para ulama klasik menetapkan ukurannya adalah yang jijik
menurut orang Arab pada masa Rasulullah SAW. Kesimpulannya, semua yang
memang dianggap kotor dari segi fisik maupun dari segi medis, maka
itu diharamkan, seperti tikus, kecoa, lalat dan sejenisnya, karena
semua itu hidup di tempat-tempat yang kotor. Termasuk ke dalam
kategori ini adalah segala jenis makanan atau minuman yang
membahayakan, baik bahan dasarnya maupun olahan. Selain kategori yang
telah disebutkan di atas berarti termasuk hewan yang halal dimakan.
Sebab, hukum asal segala makanan dan minuman adalah halal sampai ada
dalil yang mengharamkannya. Kaidah inilah yang perlu diterapkan untuk
menentukan status hukum suatu makanan atau minuman. MINUMAN KHAMAR
Yaitu arak yang sudah dikenal orang sejak dahulu. Lalu
dianalogikan darinya segala jenis minuman yang dibuat untuk mabuk,
meskipun beberapa kalangan bisa saja tidak mabuk bila meminumnya.
SEGALA BENTUK MAKANAN, MINUMAN ATAU ISAPAN YANG BISA MENYEBABKAN HILANGNYA KESADARAN
Contohnya, narkotika dan zat-zat adiktif lainnya. lni adalah bentuk
qiyas atau analogi dari minuman yang memabukkan. Bila khamer atau
arak saja yang hanya membuat orang mabuk ringan diharamkan, maka sudah
barang tentu yang lebih membahayakan dari itu mengandung keharaman
yang lebih dahsyat.
0 komentar:
Posting Komentar