Sejarah Pengembangan Masjid Nabawi
- Diterbitkan pada Rabu, 18 November 2009 15:00
- Dilihat: 1733
Jika
Anda berkesempatan shalat di Masjid Nabawi di Madinah, tentu Anda tak
kan pernah mengira bahwa masjid nan megah itu pada awalnya hanya sebuah
masjid sederhana yang dibangun dengan material tanah liat; bertiang
pohon kurma dan beratap pelepah pohon kurma. Itu pun lantaran di lahan
hadiah beberapa penduduk anshar itu terdapat banyak pohon kurma yang
sudah tua. Pondasi masjid hanya berupa cetakan tanah liat yang
ditumpuk-tumpuk. Nabi sendirilah yang memimpin pembangunan masjid itu
sekitar tahun 622 masehi silam.
Tata
letak bangunan masjid memang sengaja dibuat mirip seperti tata bangunan
rumah Nabi di Makkah, yang digunakan sebagai basis dakwah perjuangannya.
Rumah Nabi di Mekkah itu berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter
firkan (persegi) yang dikelilingi oleh dinding-dinding tembok dengan
bahan baku tanah liat. Sebagaimana kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab
pada masa itu, Nabi pun membuat sebuah pelataran besar di dalam
lingkungan rumahnya. Pelataran itulah yang sering digunakan untuk
menggelar syuro-syuro (rapat-rapat) bersama para sahabat seperjuangan.
Ketika Nabi hijrah ke Madinah bentuk seperti itu pun dijadikan sebagai pola masjid di sana. Pola itu biasanya disebut pola hypostyle. Pada sisi selatan pelataran dibuatkan portico atau
serambi beratap, yang ditopang oleh tiga deret tiang dari batang pohon
palm. Di sanalah Nabi sering berdiskusi membicarakan masalah-masalah
keagamaan dan kenegaraan serta memimpin shalat berjamaah dengan para
sahabat. Dahulu, pada sisi itu pula terdapat sebuah mimbar kayu sebagai
tempat bagi nabi untuk berkhutbah. Menurut berbagai riwayat, itulah
mimbar pertama yang digunakan Nabi. Malahan, mimbar itu disebut-sebut
sebagai poin sentral dari Masjid Nabawi, pada masa-masa awal.
Arsitektural Masjid Di Zaman Nabi
Menurut catatan para arkeolog arsitektural, masjid yang dibangun pada zaman Nabi punya beberapa karakterisrik, yakni: memiliki shahn (pelataran
gedung terbuka yang dikelilingi tembok) dan portico yang sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Arab Semit, seperti yang terdapat pada
sebuih kuil kuno peninggalan abad ke-2 SM. Sebagai catatan, kuil itu
juga memiliki sebuah aula peribadatan berbentuk persegi panjang dengan
serambi portico dan bertiang banyak.
Boleh dibilang, struktur arsitektur asli Arab (arabesque)
yang digunakan Nabi dalam masjidnya itu ternyata kemudian menjadi
bentuk dan struktur masjid yang disukai di dunia muslim dari masa ke
masa, khususnya di kawasan Maghribi, Afrika Tengah dan Masyriqi. Elemen shahn tadi,
bahkan, kemudian menjadi salah satu ciri elemen arsitektural yang cukup
menonjol dalam struktur arsitektur domestik, baik bangunan-bangunan
berdimensi mewah maupun sederhana dalam sejarah arsitektur dunia Islam.
Pengembangan Masjid Nabawi
Masjid
Nabawi pertama kali diperluas oleh Khalifah Umar ibn al-Khaththab
dengan penambahan sebidang tanah di bagian utara. Selanjutnya,
dilanjutkan semasa Utsman Ibn al-’Affan menjadi khalifah. Pembangunan
tahap kedua ini berlangsung selama satu tahun (649-650 masehi).
Kemudian,
pada masa Dinasti Umayyah berkuasa, Khalifah al-Walid memerintahkan
para arsitek dan insinyur Arab melakukan perluasan dan restorasi fisik
bangunan Masjid Nabi, istilah lain dari Masjid Nabawi. Walaupun
pembangunan ini berskala besar, tapi khalifah tetap menghendaki agar
struktur asli masjid tidak diubah: memiliki lapangan terbuka ber-portiko
lengkap dengan mihrabnya.
Meski
bentuk dasar aslinya dipertahankan, namun mihrab pada dinding bagian
selatan (arah kiblat) akhirnya dimodifikasi melalui sentuhan kreasi
tangan-tangan seniman ukir pada masa itu. Selain itu, para insinyur
pelaksananya juga membangun minaret yang berfungsi sebagai tempat muazin
melantunkan azan. Minaret, saat itu, dianggap sebagai unsur baru dalam
arsitektur masjid.
Sepertinya, dalam melakukan modifikasi dan restorasi Masjid Nabawi, Khalifah al-Walid menggabungkan struktur arabesque dengan gaya bangunan peribadatan Byzantium. Selain itu, khalifah juga menggabungkan kamar-kamar ummahat al-mu’minin
(para wanita-wanita bangsawan, baca: kepuntren, dalam konteks Jawa)
sebagai bagian dari kompleks masjid. Semasa Khalifah Walid bin Abdul
Malik juga dilakukan penambahan lahan seluas 2.369 meter firkan (meter
persegi).
Masjid ini jelas memiliki
kharisma tersendiri di mata para dinasti penguasa Islam. Hampir semua
dinasti yang sedang berkuasa mengambil prakarsa untuk melakukan
pemugaran masjid, seperti Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah;
Sultan Qaitabai dari Dinasti al-Mamalik (Mamluk) yang membangun kubah di
atas kamar Nabi; dan Sultan Mahmud II dari Dinasti Turki Utsmani. Pada
tahun 1813, Sultan Mahmud II membangun kubah yang dibalut dengan timah
dan dicat dengan warna hijau menggantikan kubah yang dibangun oleh
Sultan Qaitabai.
Empat puluh delapan
tahun kemudian (1861), Sultan Abdul Majid I—masih dari Dinasti Turki
Utsmani—memerintahkan agar semua bangunan masjid diruntuhkan, kecuali
kamar Nabi. Selanjutnya masjid dibangun kembali dengan perluasan hingga
mencapai 1.293 meter firkan. Inilah, perluasan terakhir sebelum akhirnya
Masjid Nabawi ditangani oleh pemerintah Arab Saudi.
Masa Kerajaan Arab Saudi
Ketika
Raja Abdul Aziz, sang Raja Arab Saudi, diberi kehormatan untuk
mengurusi Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi ia memberikan perhatian yang
sangat besar kepada kedua masjid tersebut. Tatkala Raja mendapat
laporan bahwa Masjid Nabawi sudah tidak mampu lagi menampung jama’ah
shalat sehingga membuat jamaah terpaksa melakukan ibadah shalat di
lorong-lorong dan jalan di sekitar masjid, Raja mengeluarkan instruksi
untuk kembali melakukan perluasan masjid.
Proyek
perluasan pun dilakukan selama empat tahun mulai Juli 1951 (Syawal
1370) hingga tahun 1955 (1375). Perluasan itu mencapai 12.271 meter
firkan, terdiri atas: 6.247 meter firkan areal pembongkaran Sultan Abdul
Masjid dan 6.024 meter firkan penambahan baru. Maka, luas masjid pun
menjadi menjadi 16.327 meter firkan, sedangkan sisa bangunan yang
dibangun semasa Dinasti Turki Utsmani hanya 4.056 meter firkan.
Kemudian,
Raja Fahd pun turut andil melakukan perluasan masjid. Pada 5 Oktober
1984, perletakan batu pertama perluasan masjid berskala besar kembali
dilaksanakan. Lantai dasar sisi utara, barat dan timur diperluas hingga
82.000 meter firkan sehingga bisa menampung 127.000 jama’ah. Juga,
perluasan atap seluas 67.000 meter firkan berkapasitas 90.000 jama’ah.
Setelah ditambahkan perluasan-perluasan pada bagian lain, total
perluasan mencapai 165.000 meter firkan dengan kapasitas menjadi 257.000
jama’ah.
Kini,
Masjid Nabawi memiliki 10 minaret (menara): masing-masing setinggi 105
meter ditambah ornamen tiang bulan sabit. Tinggi lantai dasar 12,55 m
dan ruang bawah tanah setinggi 4 meter. Jumlah tiang masjid selama
perluasan 2.104 tiang berdiameter 64 cm dengan jarak antartiang antara 6
meter sampai 18 meter yang membentuk serambi dan pelataran.
Hebatnya,
masjid ini memiliki 27 kubah berteknologi tinggi, yang dapat dibuka
secara elektrik untuk pengaturan kondisi udara alami dalam masjid.
Seluruh kubah itu menaungi 18 x 18 meter firkan yang membentuk pelataran
terbuka dalam masjid (tipe hipostyle). Tinggi kubah itu dari lantai
atap mencapai 3,5 meter. Sedangkan dari lantai dasar 16,56 meter
berdiameter 2,3 meter dan jari-jari tinggi 4 meter.
Sementara
itu, pada makam Rasulullah terdapat gambar-gambar dekoratif bermotif
bandul, lampu, masjid dan menara. Sambungan dekorasi ukiran kayu, marmer
dan logam pada jendela, pintu, tiang, dikerjakan dengan sangat teliti
dengan tingkat presisi yang sangat tinggi.
Masjid
Nabawi telah mengalami banyak perluasan dan pembangunan oleh banyak
penguasa. Namun, bentuk dasarnya tetap tak berubah: struktur hypostyle
sebagai struktur arabesque. Struktur inilah yang dipakai masjid-masjid
terkenal lain di dunia. (dari berbagai sumber).
0 komentar:
Posting Komentar